Sabtu, 12 Maret 2011

Fatwa Tarjih : Karomah Seorang Kyai


KARAMAH SEORANG KYAI

Penanya:
Ali Shadiqin,
Jl. Raya Bulakamba 25, Bulusari, Brebes, Jawa Tengah


Pertanyaan:

1.      Apa yang dimaksud dengan “karamah”?
2.      Apakah tindakan santri yang berlomba-lomba mengurus jenazah kiyainya, baik waktu mengkafani, menyalati, dan menguburkan dengan alasan untuk mendapatkan karamahnya oleh mereka, ada tuntunannya?


Jawaban:

1.      Perkataan karamah berasal dari bahasa Arab karamatan atau dibaca karamah, yang artinya kemuliaan, kemurahan hati, dan dermawan. Tetapi dalam pengertian umum pada sebagian umat Islam, “karamah” itu adalah keramat, yaitu hal-hal yang luar biasa yang terdapat pada diri seseorang yang biasa mereka sebut dengan wali Allah.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Israa’ (17): 70 Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً. [الإسرآء (17): 70].
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” [QS. Al-Israa’ (17): 70].
Dimaksud dengan kemuliaan dalam firman tersebut, yaitu Allah telah memberikan kelebihan atau keutamaan kepada anak Adam berupa postur tubuhnya yang harmonis, diberi akal dan ilmu, paham kepada ucapan, isyarah, dan mengambil petunjuk kepada sebab-sebab untuk kebaikan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Akan tetapi, dalam masyarakat umum seperti telah kita sebutkan di muka, dipahami dengan kata “karamah” adalah hal-hal yang luar biasa yang ada pada diri seseorang yang biasa disebut wali Allah.
Mengenai wali Allah memang disebut dan diakui oleh Al-Qur’an dalam banyak ayat antara lain dalam surat Yunus (10): 62-63, Allah berfirman:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ. [يونس (10): 62-63].
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” [QS. Yunus (10): 62-63].
Wali Allah itu adalah orang yang taat dan ikhlas, mereka benar-benar iman kepada Allah, kepada malaikat, Rasul-rasul Allah, kitab-kitab Allah, dan hari akhir. Mereka itu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang menjadi larangan-Nya. Dengan lain perkataan, - meminjam istilah Wahbah az-Zuhaili, - setiap orang yang taqwa adalah wali bagi Allah. فَكُلُّ مَنْ كَانَ تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا . Begitu tulis Wahbah az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya pada waktu mengulas ayat di atas.
Yang menjadi persoalan, apakah kita tahu nilai dan derajat taqwa seseorang? Taqwa itu masalah hati, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling tinggi derajat taqwanya. Dalam suatu hadits telah dikatakan oleh Nabi saw: التَّقْوَى هَاهُنَا , artinya: “Taqwa ada di dalam hati.”.
Jadi, kita tidak bisa mengetahui karamah seseorang di sisi Allah, kita hanya mengukur hal-hal yang lahir saja, sedang yang batin tidak.
Kadang-kadang memang secara lahir kita lihat pada diri seseorang ada yang menakjubkan, aneh dan ajaib, misalnya seseorang ibadahnya tidak baik, tetapi disanjung atau dipuji sebagai manusia luar biasa, seseorang rizkinya melimpah, selalu bertambah tetapi orang itu tidak pernah mengeluarkan zakat, seseorang sangat disukai oleh orang banyak, padahal dia bukan ahli ibadah, hanya karena pandai menarik hati orang banyak. Hal-hal seperti itu bisa dimasukkan kepada apa yang disebut dengan istilah bahasa agama Islam dengan istidraj, yaitu proses kemerosotan bagi seseorang secara pelan-pelan atau berangsur-angsur.
Paling tinggi kita hanya bisa bersangka baik saja pada seseorang, kalau tindak-tanduknya dilihat dari kacamata agama adalah baik, apalagi memastikan tidak mungkin dilakukan.
2.      Mengenai tindakan para santri berbuat baik kepada gurunya yang telah meninggal, seperti mengkafani, menyalati, menguburkan, dan berdoa, hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama, apalagi oleh murid-muridnya yang menimba ilmu dari kiyai itu selagi dia hidup. Tetapi perbuatan-perbuatan itu tadi jangan didasarkan pada suatu kepercayaan yang tidak berdasar, seperti supaya santrinya mendapatkan “karamah” dari kiyainya.
Bahkan agama melarang kita mengkultuskan seseorang. Rasulullah sendiri melarang para shahabat berdiri untuk menyambut kedatangan beliau. Bahkan kalau tujuan santri itu untuk mendapat “karamah” yang tidak mempunyai dasar itu, berarti niat mereka sudah salah, tidak mendapat pahala dari Allah SWT. Seperti kita ketahui bersama, segala amal itu didasarkan kepada niat, seperti yang telah disabdakan oleh Nabi saw:
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اْلأَعْمَالُ بِاالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى... [رواه البخاري].
Artinya: “dari Umar ra, diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Semua perbuatan ibadah harus dengan niat, dan setiap orang tergantung kepada niatnya …” [HR. Al-Bukhariy].
Ada pula qaidah fiqh yang menyatakan:
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا.
Artinya: “Segala urusan tergantung kepada maksudnya atau niatnya.” *th)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar